Senin, 15 April 2019
Selasa, 09 April 2019
Gerakan Antikorupsi Setengah Hati
http://aritrinoeryantissos.gurusiana.id/article/gerakan-antikorupsi-setengah-hati-1736163
Sebagai
pensiunan NGO International saya sangat berharap setelah reformasi akhir dari
orde baru tumbuh pemerintahan yang
bersih, akuntabilitas terjamin dan terpercaya. Ketika bekerja dengan birokrasi
asing sangat sulit menembus diskriminasi ras. Ras Eropa sangat mendominasi
dalam struktur organisasi. Namun ketika orang Indonesia menunjukan dedikasi dan
profesionalisme tak heran bisa dipromosikana ke ranah struktur walauapun bukan
upper upperclass cukup level manajerial. Namun alangkah kecil nyali saya
tatkala artikel saya yang dimuat di media massa solopos 23 September 2013
mendapatkan caci maki dan nyinyiran dari warga sekolah karena dianggap tidak
layak mengangkat isu tersebut. Hanya guru, wong cilik. Baik kepala sekolah dan
pengawas tidak menyukai tulisan saya. Namun saya heran sebuah
akun@GanjarPranowo memuat laman berita tentang pendidikan anti korupsi
disekolah yang mendapatkan simpati dari netizen 20 ribu tayangan yang
memotivasi para siswa SMAN 1 Maos untuk melakukan pendidikan antikorupsi sejak
dini. Apakah ini hal lama didaurulang?bukankah orang –orang seperti saya justru
disingkirkan dalam struktur. Bahkan seingat saya jadi pns belum pernah jadi
panitia Ujian Nasional, atau tim program sekolah yang lain padahal saya
memiliki kemampuan komputer, pengalaman bekerja yang luas?
Sejak masuk dalam daftar pegawai
negeri dan mengajar di sekolah negeri secara pribadi sangat kecewa karena
kolusi dan nepotisme sangat masif dugaan korupsi terdengar dimana-mana. Hal-
hal yang sepele ternyata dari simpul-simpul subyektifitas menghasilkan hal –
hal tidak wajar. Ketidakjujuran disosialisasikan bahkan dilembagakan dalam
sekolah. Contohnya kebijakan kkm yang membuat para guru ssecara sengaja dan
sadar memanipulasi nilai siswa demi ketuntasan. Tidak hanya nilai bahkan dalam
setiap kebijakan, surat keputusan penugasan guru bernilai rupiah. Bahkan di
sekolah muncul golongan elit yang hanya saling berbagi dengan teman – teman satu
kubu.
Di grup facebook media guru
Indonesia sebuah akun @agus sukamto yang isinya “ditempat kerja pasti ada
konflik.Bahkan bisa jadi dua kubu. Apa yang harus guru lakukan? sekitar 90
anggota guru memberikan perhatian berupa like, senang, atau sedih komentar
banyak guru yang menyatakan netral, beberapa hanya berkelakar bentuk kubu baru.
Banyaknya komentar menandakan bahwa fakta adanya kubu di sekolah memang benar.
Lalu kubu – kubu yang dimaksud yang mana ya?
Disekolah negeri setiap pekerjaan
selain mengajar mendapatkan insentif sendiri karena dianggap diluar tugas pokok
guru. Lahan basah tersebut digunakan oleh sebagian orang untuk mencari
keuntungan sendiri misalnya menggunakan pengaruhnya untuk memasukan saudara
menjadi GTT atau PTT sebagai jalan menuju status pns yang diidamidamkan. Hal
ini merupakan halangan bagi proses keterbukaan, keadilan dan kejujuran. Belum
lagi jabatan dalam managemen sekolah yang dipegang para wakil kepala sekolah
bersifat abadi bahkan bisa diturunkan. Bahkan di sekolah desa-desa posisi wakil
kepala sekolah seperti kepala desa harus mendapatkan upeti dari setiap program
sekolah berupa honor. Kemampuan, dedikasi dan prestasi bukan lagi menjadi tolak
ukur. Penilaian kinerja guru juga dianggap formalitas asalkan dekat dan mampu
menyenangkan bapak/ibu yang memiliki jabatan dijamin aman.
Hal ini sangat berbeda jika bekerja
di organisasi swasta dan organisasi international yang saling tidak mengenal
hubungan darah, koneksi atau kenalan, kedekatan orang dalam. Organisasi sehat
karena hubungan yang obyektif namun di sekolah negeri penuh dengan
subyektifitas. Bahkan isu affair dan perselingkungan sering mewarnai karena
kedekatan hubungan secara subyektif.
Bagaimana mungkin melakukan
pendidikan anti korupsi di sekolah yang penuh subyektifitas? Kita bisa membuat
peraturan agar siswa menulis pakta integritas di setiap kertas ulangan yang
dikerjakan. Namun sebagai guru dan warga sekolah seringkali tidak berdaya
menuruti kehendak managemen yang berujung ketidakjujuran. Komunitas pendidikan
anti korupsi harusnya merupakan komunitas yang jujur, terpercaya, obyektif
sehingga terhindar dari proses – proses subyektifitas yang menyebabkan sistem
yang rentan terjadinya korupsi. Kolusi dan nepotisme adalah jalan memudahkan
korupsi. Namun sebagai guru biasa mampukah kita menghapuskan pengaruh sistemik?
Tidak ada jalan keluar selain
kebijakan struktural yang terpusat yang membuat semua orang patuh dan tunduk
terhadap hukum. Penerapan sistem penilaian yang bersifat digital, managemen
keuangan yang digital menyangkut e budgeting pada Rencana Anggaran Kerja
Sekolah , e-bos, e-scholarship patut diseminasi dalam rangka mencegah bocornya
dana sekolah. Pengelolaan sumberdaya manusia yang online seperti sinaga, sinita
dan yang lain patut diacungi jempol krn telah diintroduksi pemerintah Jawa Tengah.
Managemen berbasis digital bukanlah
sesuatu yang paling tepat untuk menegakan transparansi yang mendorong sikap
jujur karena listrik, internet dan kondisi alam yang mempengaruhinya sulit
menjamin jaringan internet terhubung 100%. Namun upaya transparan dapat
dilakukan untuk mendukung sikap fairness. Kalau cuman pendidikan antikorupsi
dalam setiap mata pelajaran tanpa memperhatikan analisa sosial yang lebih luas
hanyalah upaya setengah hati untuk menegakkan keadilan. Korupsi, kolusi dan
nepotisme harus diberantas dengan cara sistemik, berkelanjutan dan pemilihan
pemimpin yang berkualitas secara menta, spiritual dan kemampuan adalah kunci
terselenggarakannya pendidikan antikorupsi di sekolah.
Langganan:
Postingan (Atom)
PESONA WADUK CENGKLIK DESA NGAGOREJO
Materi K 13 Kelas XII PERUBAHAN SOSIAL Ada istilah di dunia ini tidak ada yang abadi. Semua bisa berubah sewaktu waktu o...
-
KONEKSI ANTAR MATERI COACHING Ari Tri Noeryanti Materi coaching dipelajari pada modul 2.3. Modul ini mempelajari tentang coaching. Pem...
-
Asyiknya Belajar Sosiologi Hanna Ari Tri Noeryanti, S.Sos Sosiologi tampak masih asing di literasi masyarakat awam mes...
-
Hak Anak dan Reproduksi Sebagai makhluk sosial dan individu, manusia memiliki yang yang hakiki hak tersebut lebih dikenal dengan ha...