Selasa, 09 April 2019

Gerakan Antikorupsi Setengah Hati

http://aritrinoeryantissos.gurusiana.id/article/gerakan-antikorupsi-setengah-hati-1736163



Sebagai pensiunan NGO International saya sangat berharap setelah reformasi akhir dari orde baru tumbuh pemerintahan  yang bersih, akuntabilitas terjamin dan terpercaya. Ketika bekerja dengan birokrasi asing sangat sulit menembus diskriminasi ras. Ras Eropa sangat mendominasi dalam struktur organisasi. Namun ketika orang Indonesia menunjukan dedikasi dan profesionalisme tak heran bisa dipromosikana ke ranah struktur walauapun bukan upper upperclass cukup level manajerial. Namun alangkah kecil nyali saya tatkala artikel saya yang dimuat di media massa solopos 23 September 2013 mendapatkan caci maki dan nyinyiran dari warga sekolah karena dianggap tidak layak mengangkat isu tersebut. Hanya guru, wong cilik. Baik kepala sekolah dan pengawas tidak menyukai tulisan saya. Namun saya heran sebuah akun@GanjarPranowo memuat laman berita tentang pendidikan anti korupsi disekolah yang mendapatkan simpati dari netizen 20 ribu tayangan yang memotivasi para siswa SMAN 1 Maos untuk melakukan pendidikan antikorupsi sejak dini. Apakah ini hal lama didaurulang?bukankah orang –orang seperti saya justru disingkirkan dalam struktur. Bahkan seingat saya jadi pns belum pernah jadi panitia Ujian Nasional, atau tim program sekolah yang lain padahal saya memiliki kemampuan komputer, pengalaman bekerja yang luas?
            Sejak masuk dalam daftar pegawai negeri dan mengajar di sekolah negeri secara pribadi sangat kecewa karena kolusi dan nepotisme sangat masif dugaan korupsi terdengar dimana-mana. Hal- hal yang sepele ternyata dari simpul-simpul subyektifitas menghasilkan hal – hal tidak wajar. Ketidakjujuran disosialisasikan bahkan dilembagakan dalam sekolah. Contohnya kebijakan kkm yang membuat para guru ssecara sengaja dan sadar memanipulasi nilai siswa demi ketuntasan. Tidak hanya nilai bahkan dalam setiap kebijakan, surat keputusan penugasan guru bernilai rupiah. Bahkan di sekolah muncul golongan elit yang hanya saling berbagi dengan teman – teman satu kubu.
            Di grup facebook media guru Indonesia sebuah akun @agus sukamto yang isinya “ditempat kerja pasti ada konflik.Bahkan bisa jadi dua kubu. Apa yang harus guru lakukan? sekitar 90 anggota guru memberikan perhatian berupa like, senang, atau sedih komentar banyak guru yang menyatakan netral, beberapa hanya berkelakar bentuk kubu baru. Banyaknya komentar menandakan bahwa fakta adanya kubu di sekolah memang benar. Lalu kubu – kubu yang dimaksud yang mana ya?
            Disekolah negeri setiap pekerjaan selain mengajar mendapatkan insentif sendiri karena dianggap diluar tugas pokok guru. Lahan basah tersebut digunakan oleh sebagian orang untuk mencari keuntungan sendiri misalnya menggunakan pengaruhnya untuk memasukan saudara menjadi GTT atau PTT sebagai jalan menuju status pns yang diidamidamkan. Hal ini merupakan halangan bagi proses keterbukaan, keadilan dan kejujuran. Belum lagi jabatan dalam managemen sekolah yang dipegang para wakil kepala sekolah bersifat abadi bahkan bisa diturunkan. Bahkan di sekolah desa-desa posisi wakil kepala sekolah seperti kepala desa harus mendapatkan upeti dari setiap program sekolah berupa honor. Kemampuan, dedikasi dan prestasi bukan lagi menjadi tolak ukur. Penilaian kinerja guru juga dianggap formalitas asalkan dekat dan mampu menyenangkan bapak/ibu yang memiliki jabatan dijamin aman.
            Hal ini sangat berbeda jika bekerja di organisasi swasta dan organisasi international yang saling tidak mengenal hubungan darah, koneksi atau kenalan, kedekatan orang dalam. Organisasi sehat karena hubungan yang obyektif namun di sekolah negeri penuh dengan subyektifitas. Bahkan isu affair dan perselingkungan sering mewarnai karena kedekatan hubungan secara subyektif.
            Bagaimana mungkin melakukan pendidikan anti korupsi di sekolah yang penuh subyektifitas? Kita bisa membuat peraturan agar siswa menulis pakta integritas di setiap kertas ulangan yang dikerjakan. Namun sebagai guru dan warga sekolah seringkali tidak berdaya menuruti kehendak managemen yang berujung ketidakjujuran. Komunitas pendidikan anti korupsi harusnya merupakan komunitas yang jujur, terpercaya, obyektif sehingga terhindar dari proses – proses subyektifitas yang menyebabkan sistem yang rentan terjadinya korupsi. Kolusi dan nepotisme adalah jalan memudahkan korupsi. Namun sebagai guru biasa mampukah kita menghapuskan pengaruh sistemik?
            Tidak ada jalan keluar selain kebijakan struktural yang terpusat yang membuat semua orang patuh dan tunduk terhadap hukum. Penerapan sistem penilaian yang bersifat digital, managemen keuangan yang digital menyangkut e budgeting pada Rencana Anggaran Kerja Sekolah , e-bos, e-scholarship patut diseminasi dalam rangka mencegah bocornya dana sekolah. Pengelolaan sumberdaya manusia yang online seperti sinaga, sinita dan yang lain patut diacungi jempol krn telah diintroduksi pemerintah Jawa Tengah.
            Managemen berbasis digital bukanlah sesuatu yang paling tepat untuk menegakan transparansi yang mendorong sikap jujur karena listrik, internet dan kondisi alam yang mempengaruhinya sulit menjamin jaringan internet terhubung 100%. Namun upaya transparan dapat dilakukan untuk mendukung sikap fairness. Kalau cuman pendidikan antikorupsi dalam setiap mata pelajaran tanpa memperhatikan analisa sosial yang lebih luas hanyalah upaya setengah hati untuk menegakkan keadilan. Korupsi, kolusi dan nepotisme harus diberantas dengan cara sistemik, berkelanjutan dan pemilihan pemimpin yang berkualitas secara menta, spiritual dan kemampuan adalah kunci terselenggarakannya pendidikan antikorupsi di sekolah.

PESONA WADUK CENGKLIK DESA NGAGOREJO

Materi K 13 Kelas XII PERUBAHAN SOSIAL                     Ada istilah di dunia ini tidak ada yang abadi. Semua bisa berubah sewaktu waktu o...